Kisah Kita

Blog seputar Kampus, Mahasiswa, Kerja, Viral, dan Sosial

Kamis, 18 Januari 2018

Mengapa Aku Menulis?

Mengapa Aku Menulis ?

Aku juga mempertanyakan hal yang sama. Padahal aku dulunya sangat tidak suka menulis, karena bagiku menulis hanyalah hal yang sia-sia. Apalagi menulis dengan tulis tangan di atas kertas, menjadi sangat sia-sia karena tidak bisa di baca lagi. Teman-temanku bilang tulisanku mirip dengan cakar ayam, Aku setuju!, memang seperti itu.

Ekpektasi saat masuk kuliah Sastra Inggris, sangat jauh dengan kenyataan yang kualami. Atau bisa dikatakan bahwa aku salah dalam ber-ekspektasi. Aku sebenarnya tidak mengerti sastra sebelum aku menerima pelajaran di kelas kuliah ku. Dulu aku pikir bahwa Sastra Inggris itu adalah belajar tentang budaya dan keseharian sebagai orang Inggris. Berbicara Bahasa Inggris setiap hari, dan membaca buku bacaan yang berbahasa Inggris.

Dari semua itu, hanya sedikit yang benar. Membaca buku berbahasa Inggris memang benar, berbicara bahasa inggris juga benar, Sesuai dengan realitanya. Namun aku salah pengertian dengan kata 'Sastra'. Ternyata 'sastra' itu lebih mengarah kepada pembelajaran tulisan-tulisan yang ada di Inggris atau yang berbahasa inggris. Di kampus ku juga sama, belajar kesusastraan Inggris seperti yang umumnya. Hanya saja sepertinya ada beberapa penyekatan arti dari kesatuan 'Sastra Inggris' atau lebih tepatnya Sastra dan Inggris.

Baca juga : Tips blogging bagi mahasiswa

Jadi pada awal masuk kuliah ada beberapa mata kuliah yang belajar Bahasa Inggris dan ada juga yang belajar menulis, bukan menulis Bahasa Inggris tapi menulis dengan Bahasa Indonesia. Dengan 'starting point' untuk terbiasa menulis dulu pada awal semester, sehingga nantinya terbiasa menulis, yang di satukan antara 'Sastra' dan 'Inggris' pada semester tua kuliah. Begitu ceritanya.

Di dalam pikiranku, pekerjaan ini terbagi menjadi dua, yaitu belajar Bahasa Inggris dan Belajar Sastra. sehingga mau tidak mau aku harus menjalaninya. Tibalah di mata kuliah menulis.

Dalam pembelajaran menulis ada satu quotes yang aku masih ingat sampai sekarang, yang diberikan oleh Dosen ku waktu itu. Dia berkata bahwa "Menulis itu memiliki rumus, 1000 kali membaca sama dengan 1 kali menulis". Artinya sebelum kita menulis, kita diwajibkan untuk membaca begitu banyak bacaan dan sumber. Tidak hanya novel saja, atau cerita pendek saja, atau puisi, atau koran dan buku pelajaran lainnya. Namun semuanya harus dibaca. Akhirnya berangkat dari quotes itu, aku mulai membaca. Pembelajaran Bahasa Inggris mulai terdominasi oleh pelajaran menulis.

Sampai saat aku masuk kuliah, sebenarnya aku belum pernah tuntas membaca novel, karena menurutku waktu itu membaca itu membosankan. Mendingan menonton film saja. Contoh saja buku laskar pelangi. Di perpustakaan SMP ku dulu, ada novel 'Laskar Pelangi - Andrea Hirata'. Aku sudah baca sinopsisnya, dan baca sedikit bukunya, berhenti di lembar ke 7. Setelah itu sudah, hilang dan tidak mau dibuka lagi. Itu pun karena tugas bahasa  Indonsia yang disuruh merangkum satu bacaan dari buku yang ada di perpustakaan. Ahkirnya beberapa tahun setelah itu 'Laskar Pelangi difilmkan, Aku sudah menontonnya dan aku tahu keseluruhan ceritanya. Lebih mudah dibandingkan dengan membaca beratus-ratus lembar.

Baca juga : Calon sarjana menjiplak karya orang lain

Namun, tanpa aku sadari, aku suka dengan puisi dan sering membacanya di timeline facebook. Beberapa nama sastrawan terkenal pernah aku baca karyanya seperti 'W.S Rendra, Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer dan Joko Pinurbo. Itu pun tanpa sengaja karena berkeliaran di beranda facebook-ku. Kalau saja bukan karena facebook mungkin aku tidak pernah membaca puisi. Terimakasih facebook.

Lain lagi dengan cerita pendek, dulu aku tidak pernah baca cerita pendek koran yang keluar setiap minggunya. Aku bahkan tidak tahu ada cerita pendek yang keluar di koran waktu itu. Dulu bagiku, kesusastraan adalah hal yang asing. Jauh dari karya sastra juga tidak membuat hidupku sulit. Namun lain hal dengan sekarang, karya-karya sastra seakan menjadi bagian dari lingkunganku, dan aku harus membacanya.

Aku masih ingat puisi pertama yang aku buat secara sadar dan awamnya sebagai mahasiswa sastra. ini dia:

Baca juga : Samudra di atas awan


SAMUDRA DIATAS AWAN


Mentari indah pancarkan jutaan cahaya

hangatnya tak terasa membungkam kata

dari ketinggian tak terkira ku saksikan semuanya

megah memecah syurga gelombang awan bak samudra 



Dingin menusuk lembaran kulit berlapis

terbayar semua oleh karya tuhan yang tak pernah habis

mata memandang hamparan negeri tiada batas

gunung dan lembah berisarat dalam semesta yang amat luas



Gumpalan asap putih tenang di sisi dunia

Mendapat Tempat terindah sebagai singgasananya

Cahaya indah dari sang surya , memberikan makna tak terhingga 

Bahagia terasa di dalam jiwa, merasakan ciptaan yang maha kuasa



Diatas bukit baginda hamba lunturkan satu impian

Dalam sempurnanya alam di tengah langit tuhan

Pagi dunia aku saksikan dengan rasa damai dan tangisan

Di puncak ini aku di persembahkan satu dari Milyaran Karya tuhan 

samudera di atas awan….



Puisi ini, ku tulis dulu ketika ada seminar puisi di kampusku(kalau tidak salah 2014 bulan Januari), Pada saat menulis ini aku pikir ini sudah yang terbaik, namun ternyata setelah kubaca lagi sekarang, karya ini tidak cukup kuat untuk menggugah perasaan. Tapi, aku tidak berhenti, tetap saja menulis.

Sampai di penulisan cerita pendek, dan ini dia cerita pendek pertama yang aku buat : 'Si Poltak'

Saat membaca ini sekarang, Aku menyadari sangat banyak kekuarangannya. Setting dan ceritanya tampak kurang jelas, belum lagi bahasa yang digunakannya bercampur. Tulisan-tulisan seperti ini menjadi evaluasiku hingga bisa mencapai titik saat ini(walau sebenarnya tidak ada peningkatan).

Baca juga : 

Belajar dari keseharian, buku bacaan dan hasil berdiskusi, aku membuat karya dengan cukup konsisten semenjak itu. Puisi yang kucipta semakin hari semakin bertumpuk, begitu juga dengan cerita pendek, tidak kalah dengan skrip novel yang baru kubuat beberapa bab. Hanya saja, pada semester 6 tepatnya bulan mei 2016, karyaku yang ditumpuk di laptop hilang bersamaan dengan laptopnya. Tidak banyak karya yang terselamatkan, hanya beberapa biji, itu pun karena ku bagikan di berbagai tempat seperti line, facebook dan blog. Tidak seberapa, tidak ada seperempat dari karya karyaku.

Sampai tahun itu, aku memutuskan untuk berhenti menulis. Merasa kecewa pada diri sendiri dan kesal, karena bukan hanya karya saja yang hilang, tapi dokumentasi berhargaku berada di sana semua. Kegiatan membaca ikut terhenti, masih merasa sakit saat mulai membaca. Apalagi mulai menulis.

Berhentinya dari menulis juga cukup meresahkan, karena bagiku menulis juga merupakan luapan hati. akhirnya aku menulis sedikit demi sedikit di awal tahun 2017. Tidak banyak, hanya beberapa penggal kata, hanya untuk melampiaskan gelisahan. Aku menuliskannya di buku, yang hingga akhir 2017 terisi penuh dengan 13 cerita. Belum ada yang membacanya. Isinya tidak beda jauh dengan tulisanku yang seperti ini, hanya saja di sana mencakup cerita yang agak personal untuk dibagikan.

Baca juga : Realita Mahasiswa

Di 2018-pun sama, aku menulis hanya untuk diri sendiri, di buku secara tulis tangan dan hanya untukku sendiri. Sampailah pada 2019, Aku menemukan kembali rasa yang dulu pernah ada, rasa ingin mencipta karya. Hingga di sini aku kembali, dengan melewati banyak bacaan, ku menulis lagi. Namun bedanya, aku meluapkan cerita-cerita ku yang di potong menjadi banyak bagian dan tidak tergantung pada waktu dan latar.

Bagiku, kegiatan menulis kini marus dilaksanakan, merasa tertinggal dari orang-orang yang dulu sempat berjalan bersama, membuatku muak dengan diri sendiri. Juga, balas dendam ini harus tuntas dan cerita harus dituliskan. Walaupun dengan hanya seginilah kemampuanku hingga saat ini.


***

Untuk lebih lengkapkanya cerita dan karyaku, bisa kunjungi Disnothing. Terimakasih :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar